Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka adalah tokoh yang sangat mengagumkan.
Hamka merupakan salah satu orang Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Oleh karenanya ia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan untuk orang minang yang berasal dari kata abi atau abuya dalam bahasa arab yang berarti ayahku atau seseorang yang dihormati.
Ayahnya adalah Haji Abdul Karim bin Amrullah, Sementara ibunya adalah Siti Shafiyah Tanjung. Dalam silsilah Minangkabau, ia berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.
Lahir 17 Februari 1908 di Maninjau Tanjung Raya Agam. Meninggal 24 Juli 1981.
Angkatan Pujangga Baru dan Balai Pustaka.
Karya terkenal Di Bawah Lindungan Ka'bah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang pada tahun 1927,Pada tahun 1931, ia diundang ke Bengkalis, Bagansiapiapi, Labuhan Bilik, Medan, dan Tebing Tinggi, sebagai mubaligh di Makassar, Sulawesi Selatan.Ketika di Makassar, sambil melaksanakan tugasnya sebagai seorang mubaligh, ia memanfaatkan masa baktinya dengan sebaik-baiknya, terutama dalam mengembangkan lebih jauh minat sejarahnya. Ia mencoba melacak beberapa manuskrip sejarawan muslim lokal. Bahkan ia menjadi peneliti pribumi pertama yang mengungkap secara luas riwayat ulama besar Sulawesi Selatan, Syeikh
Muhammad Yusuf al-Makassari. Bukan itu saja, ketika di Makassar ia juga mencoba menerbitkan majalah pengetahuan Islam.
Pada tahun 1934, Hamka meninggalkan Makassar dan kembali ke Padang Panjang, kemudian berangkat ke Medan
Melalui rubrik Tasawuf modern, tulisannya telah mengikat hati para pembacanya, baik masyarakat awam maupun kaum intelektual, untuk senantiasa menantikan dan membaca setiap terbitan Pedoman Masyarakat. Pemikiran cerdas yang dituangkannya di Pedoman Masyarakat merupakan alat yang sangat banyak menjadi tali penghubung antara dirinya dengan kaum intelektual lainnya, seperti Natsir, Hatta, Agus Salim, dan Muhammad Isa Anshary.
Pada tahun 1945 Hamka kembali ke Padang Panjang. Sesampainya di Padang Panjang, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin dan menyalurkan kemampuan jurnalistiknya dengan menghasilkan beberapa karya tulis. Di antaranya: Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, Revolusi Agama, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi, dan Dari Lembah Cita-Cita. Pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk meninggalkan Padang Panjang menuju Jakarta. Di Jakarta, ia menekuni dunia jurnalistik dengan menjadi koresponden majalah Pemandangan dan Harian Merdeka. Pada tahun 1950, setalah menunaikan ibadah haji untuk kedua kalinya, Hamka melakukan kunjungan ke beberapa negara Arab. Di sana, ia dapat bertemu langsung dengan Thaha Husein dan Fikri Abadah. Sepulangnya dari kunjungan tersebut, ia mengarang beberapa buku roman Di antaranya Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Ia kemudian mengarang karya otobiografinya, Kenang-Kenangan Hidup pada tahun 1951 dan pada tahun 1952 ia mengunjungi Amerika Serikat atas undangan pemerintah setempat.
Hamka juga aktif di kancah politik melalui Masyumi Pada Pemilu 1955, Hamka terpilih menjadi anggota DPR mewakili Jawa Tengah.
Keteguhan sikapnya ini membuatnya dipenjarakan oleh Presiden pertama RI Soekarno dari tahun 1964 sampai 1966. Pada awalnya, Hamka diasingkan ke Sukabumi, kemudian ke Puncak, Megamendung, dan terakhir dirawat di rumah sakit Persahabatan Rawamangun, sebagai tawanan. Di dalam penjara ia mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya.
Pada tahun 1977, Hamka dipilih sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia yang pertama. Semasa jabatannya, Hamka mengeluarkan fatwa yang bersisi penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan memberlakukan RUU Perkawinan tahun 1973, dan mengecam kebijakan diperbolehkannya merayakan Natal bersama umat Nasrani. Meskipun pemerintah mendesaknya untuk menarik kembali fatwanya tersebut dengan diiringi berbagai ancaman, Hamka tetap teguh dengan pendiriannya. Akan tetapi, pada tanggal 24 Juli 1981 24 Juli 1981, Hamka memutuskan untuk melepaskan jabatannya sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia, karena fatwanya yang tidak kunjung dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Hamka juga merupakan seorang wartawan, penulis, editor, dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah surat kabar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, ia menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, ia menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makassar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam.
Hamka juga banyak menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya lain seperti novel dan cerpen. Pada tahun 1928, Hamka menulis buku romannya yang pertama dalam bahasa Minang dengan judul Si Sabariah. Kemudian, ia juga menulis buku-buku lain, baik yang berbentuk roman, sejarah, biografi dan otobiografi, sosial kemasyarakatan, pemikiran dan pendidikan, teologi, tasawuf, tafsir, dan fiqih. Karya ilmiah terbesarnya adalah Tafsir al-Azhar. Di antara novel-novelnya adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan Merantau ke Deli. hasil karya Hamka lebih kurang 94 karya.